Keharusan Kurikulum Penghayat Kepercayaan di Perguruan Tinggi

Moh Rosyid

Abstract


Ditulisnya naskah ini memberi penegas bahwa UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menegaskan bahwa umat beragama atau warga berkepercayaan berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan agama atau kepercayaannya dan diajarkan/dididik oleh pendidik yang seagama/sepaham penghayat. Diperkuat Peraturan Mendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan pendidikan sebagai sumber hukum. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016 yang diputuskan pada 7 Desember 2017 bahwa penghayat kepercayaan disetarakan dengan agama di Indonesia. Maka materi pembelajaran penghayat difasilitasi lembaga pendidikan termasuk di perguruan tinggi umum atau agama sebagai bukti bahwa kampus siap memfasilitasi mahasiswa penghayat. Lazimnya kampus keagamaan belum care dengan kurikulum penghayat. Bila hal ini tidak diperbaiki maka program moderasi beragama dan berpenghayat yang dicanangkan oleh Menteri Agama berhenti pada ranah konsep. Riset ini memfokuskan pada upaya penyadaran agar penyelenggara kampus negeri/swasta keagamaan agar memformulasikan kurikulum penghayat kepercayaan agar warga penghayat yang berminat menjadi sivitas akademikanya terfasilitasi. Dalam memformulasikan harus berkoordinasi dengan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) sebagai wadah tunggal nasional organisasi kepercayaan di Indonesia untuk mewadahi, menampung perjuangan organisasi kepercayaan, dan hak konstitusional.


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

Publised by Program Studi Tadris IPS dan Bimbingan Konseling Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus

Jl. Conge Ngembalrejo, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kec. Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia